Saatnya Belajar NLP Kembali



MEMAKNAI KEMBALI ISTILAH 'RAPPORT'

"Resistance indicate lack of rapport."

Bahwa yang namanya penolakan kerapkali menunjukkan akan kurang terjalinnya hubungan Anda.

Ketika  kali pertama menemukan kalimat ini dalam rangkaian presuposisi  saat belajar NLP beberapa tahun yang lalu, saya sempat bingung. Bagian mana yang diterjemahkan sebagai hubungan? 

Bukankah Rapport itu berarti laporan?
Ah, rupanya saya terkontaminasi dengan istilah buku raport yang berisi laporan perkembangan siswa.

Setelah membuka Oxford Dictionary & Thesaurus, saya menemukan makna lain rapport yaitu 'a relationship of mutual' atau 'understanding or trust and agreement between people'. Maka makin jelas deh kalau begitu, jadi rapport akan selalu bersinggungan dengan 4 hal :

Relationship (hubungan), 
Understanding (pengertian), 
Trust (kepercayaan), 
bahkan Agreement (kesepakatan).

Dalam salah satu bukunya, Robert Dilts (NLP University) mengatakan bahwa :

"Salah satu cara membangun rapport adalah dengan tidak merusak rapport yang sudah ada." 

Artinya jika tujuan Building Rapport adalah demi mendapatkan trust, maka maintaining relationship merupakan salah satu cara paling mudah dalam mendapatkan kepercayaan. 

***
Stephen R. Covey dalam bukunya Speed of Trust , mengatakan bahwa level of trust selalu berbanding terbalik dengan besaran cost . Artinya ketika level of trust kita tinggi, maka jumlah cost yang mesti dikeluarkan akan menurun. Begitu sebaliknya. 

Dalam buku itu disebutkan bahwa terdapat 4 komponen dasar agar seseorang mampu mendapatkan Gaining the trust, yaitu:

1. Kesamaan (Similarity)
2. Niat baik (Good Intention)
3. Kompetensi (Competence)
4. Jejak Rekam (Track Record)

Dari 4 syarat di atas, prasyarat pertama adalah yang paling mudah dilakukan, bisa dilakukan oleh siapa saja dan dengan effort serta waktu singkat. Oleh karena itulah Bandler dan Grinder mengulik dan mengasahnya dengan seksama untuk kemudian membuat polanya agar mereka bisa mendapatkan persamaan dengan kawan bicara mereka. Ternyata inilah asal usul teori PACING (penyelarasan) yang terkenal itu.

Dalam pengamatan Bandler dan Grinder, teknik pacing dibedakan menjadi 2 terminologi, yaitu:

1. Mirroring (menyamakan)
2. Matching (mencocokkan)

Akan tetapi, selama ini banyak pembelajar NLP yang masih bingung membedakan antara tindakan yang mencerminkan teknik matching dan tindakan mana yang mencerminkan mirroring, termasuk saya.

Hingga sampai perjumpaan saya dengan Kang Surya Kresnanda yang dikenal sebagai salah satu Penggiat NLP Indonesia minggu kemarin. Dengan apik Kang Surya menjelaskan bahwa teknik mirroring senantiasa mencari kesamaan : baik verbal, non verbal, visual (gesture) ataupun intonasi. 

Demi mencapai Fase Connectedness  (Keterhubungan Bathin) antar pelaku proses komunikasi, maka sebagai praktisi NLP? Kita semua MEMANG SANGAT PERLU untuk menjadi cermin bagi kawan bicara kita. Jadi..

Baik itu dalam pilihan kata (diksi), nada bicara, bahkan bahasa tubuh kita. Ketika kawan bicara kita menggunakan predikat dengan preferensi visual, maka kita juga menggunakan pilihan kata visual. Intonasi kawan bicara menjadi cepat atau lambat, kitapun menyelaraskan. Bahkan ketika mereka menggerakkan salah satu bagian tubuhnya, secara subtle (tak kentara)? Maka kitapun mengikutinya. Itulah Mirroring .

Namun ternyata tak selamanya kita boleh me-mirror orang lain. Ada beberapa hal khusus yang tidak boleh di-mirror, seperti saat seseorang melakukan Tic Movement (kebiasaan khusus seperti berdehem atau berkedip berlebihan secara tak sengaja.   Atau menggaruk bagian tertentu ketika panik). Atau ternyata suatu saat kita mendapati kawan bicara kita yang gagap, latah, bindeng dan hal sejenisnya.

Bukan itu saja, dalam kondisi normalpun ternyata kita tidak boleh sembarang me-mirror orang lain. Sebagai contoh, ketika seorang anak buah ingin mendapatkan trust dari atasannya, dan dia ingin melakukan pacing. Ketika dia melihat atasannya mengangkat dan menyilangkan kaki, apa yang akan terjadi jika dia juga ikut menyilangkan kaki? 

Saya yakin Anda bisa menjawabnya. Tidak akan ekologis kalau bawahan dengan posisi lebih rendah dari atasannya ikut menyilangkan kaki. Maka akan lebih sopan dan selaras kalau sebagai bawahan? Kita tetap duduk dengan kedua kaki menapak lantai.

Kenapa begitu? 
Hal tersebut semata-mata dilakukan agar si Boss yang merasa lebih tinggi posisinya akan tetap merasa lebih dihargai. Namun hakikatnya, ketika kita melakukan penyelarasan secara tak tampak dimana kita melakukan penyelarasan sebagian kecil gerakan saja? Maka secara Subtle kita sejatinya sedang melakukan pula sebuah proses penyelarasan (meski terkesan tidaklah sama).  Itulah teknik mencocokkan atau Matching .

Lho, Teknik Pacing Tapi Kok Tidak Sama? 
Memang kecocokan tidaklah harus sama. Yang dicari bukanlah kesamaan melainkan kesetaraan posisi. Saling mengisi.

Adanya seseorang disebut bos, karena dia memiliki anak buah. Seseorang disebut istri ketika memiliki suami. Anda disebut anak karena memiliki orang tua, dan lain sebagainya.

Ketika kita berjumpa dengan pihak yang sangat senang bicara, maka posisi matching kita adalah dengan menjadi pendengar yang baik, bukan malah me-mirror dengan banyak bicara juga. 

Jika Anda hendak berburu rusa dengan kolega Anda, ketika melihat dia membawa busur, maka sediakanlah anak panah, bukan sama-sama menjinjing busur agar terlihat sama! Karena dua buah busur tidak akan mampu memanah rusa!

Itulah Keindahan Teknik Matching. Saling mengisi posisi yang kosong.

Dari penuturan di atas, maka jelaslah perbedaan antara matching dan mirroring, serta kapan kita menggunakannya. Mirror -lah semua aspek kawan bicara kita seoptimal mungkin, dan ketika terjadi ketakselarasan, baru gunakan Matching.

Lalu Kapan Kita Melakukan Leading? 

Sabar Bro, leading bukan termasuk pada bahasan Rapport Building. Teknik Leading akan kita ulas tersendiri. Jangan latah setiap kali membicarakan pacing, terus dilanjutkan dengan leading. Pacing-Leading.

Dan Pokok Bahasan Rapport Building ini? Baru benar benar selesai sampai kawan bicara kita terhubung secara bawah sadar sehingga memberikan trust-nya kepada kita, maka diharapkan akan tercipta sebuah agreement.

Ooo, jadi kalau begitu buku raport itu bukan buku laporan ya?

Yup. Memang bukan. Sebab Rapport merupakan buku penghubung antara pihak sekolah dengan orang tua sehingga tercipta trust yang diharapkan akan muncul sebuah Agreement di antara mereka demi perkembangan siswa.

Ternyata NLP itu mudah dan memudahkan hidup kita ya....
Sila tebar jika manfaat


N.B :
*Tulisan luarbiasa ini saya dapatkan dari kiriman Salah Satu Guru Virtual saya, Pak Hari Dewanto -haridewa-, salah satu Happiness Life Coach Luarbiasa yang dimiliki oleh Indonesia. Ingin belajar bersama beliaunya? 

Silakan hubungi saja Contacts Person Beliau di +628179039372 atau kunjungi saja website beliau di

PS: Matur sembah tengkyu pula pada Bapak Surya Kresnanda untuk pencerahannya yang kemudian berefek pada lahirnya tulisan ini

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENTORING SPESIAL BACA ORANG (Batch 7)

KELAS ONLINE BACA ORANG - Batch 8

Freestyle Fisiognomy (Batch 2)